Selasa, 09 September 2025

Napas-Napas Yang Pendek

“Kalau kamu enggan mengurus anak kita, lebih baik kamu pulang.”

Kata-kata itu keluar dari mulut suaminya, Adrian, beberapa menit yang lalu. Kesadaran Diana masih samar-samar, sebelum pada akhirnya seorang dokter jaga dan seorang perawat tiba memeriksa. Adrian orang pertama yang bangun setelah balita itu menangis dan Diana masih terlelap.

Diana tidak berkata apa-apa. Dokter bilang “Anakmu kuat” sebelum berlalu.

Adrian kembali pada kursi meringkuk tidur dengan wajah kecut. Diana terjaga, kantung matanya kelabu.

Kenyataan berubah menjadi seperti mimpi bagi Diana saat ia menyaksikan cahaya menerobos masuk melalui jendela. Pagi itu Adrian baru bangun dan hanya diam. Diana merapikan mainan, obat-obat, sisa makanan, dan pakaian Adrian di atas sofa. Ia menciptakan ketertiban tak kasat.

“Sebaiknya Anda tidur dulu.” Kata perawat yang membantu.

Diana hanya membalas dengan kontak mata dan tak berarti apa-apa. Selanjutnya hening. Perawat itu pergi dan Adrian seperti telah membendung sesuatu.

“bagaimana mungkin kamu bisa nyenyak tidur semalam saat anak kita merengek sakit?”

Pagi ini ia terbangun hanya untuk mengucapkan itu. Seakan pura-pura tidak mendengar, Diana masih merangkai, membangun ketenangan dalam batinnya.

“Kamu tau ini akibat apa?” tanya Adrian, “Virus yang kamu bawa ke rumah kita minggu lalu.”

“Kamu harus segera pergi bekerja, Mas. Kemejanya sudah aku siapkan.”

“Kekanak-kanakan!” Adrian menimpal, “aku tidak bisa pergi dengan keadaan seperti ini.”

Tetapi beberapa lama kemudian Adrian pergi, Diana mencermati perkataan itu. Mungkin memang demikian. Mungkin juga tidak. Gairahnya hilang untuk berbantah-bantahan dengan suaminya pasca operasi yang dilakukan pada anaknya dua hari lalu. Sejak saat itu pula, ia baru bisa tidur tadi malam, dan itu hanya satu jam. Setiap kali dokter berkunjung, ia hanya berdiri dengan tatapan kosong dan kepalanya bersandar pada dinding. Ada kelegaan setelah dokter itu ada di sini, bukan karena ia menyatakan kondisi anaknya, melainkan dokter itu tidak mengatakan apa-apa.

“Sebaiknya Anda berjalan-jalan keluar sebentar, ini pasti minggu yang berat. Biarkan perawat berada di sini sampai Anda kembali.” Kata dokter itu pada Diana setengah berbisik.

Sore itu Diana memenuhi saran Dokter. Ia pergi keluar, sedikit berjalan-jalan menyusuri trotoar. Kota lengang setelah pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar. Virus menyebar ke seluruh kota sejak awal tahun. Ada beberapa kantor diizinkan beroperasi, tetapi hanya sedikit yang bekerja, itu pun dengan protokol ketat.

Sayup-sayup suara ambulans memenuhi ruang kosong di antara gedung-gedung. Udara jernih, tetapi kesesakan tetap terasa samar. Taman-taman, pancuran, beberapa polisi mendorong pembatas jalan untuk menutup beberapa perempatan, entah kenapa itu semua membuatnya sedikit lebih tertib.

Cahaya matahari memantulkan warna keemasan, pada dedaunan dan aspal. Diana benar-benar terjebak dalam ambiguitas yang menganga, antara realitas atau mimpi setelah anaknya harus dibawa ke rumah sakit. Di satu sisi, ia menatap mata anaknya yang cemerlang. Ia menggendongnya ke dekat jendela untuk merasakan matahari pagi. Napas yang pendek, denyut yang mungil. Mengalun bergerak bersama gelombang cahaya dan pepohonan di seberang jendela. Diana merasa alam semesta menyusut dan menyatu, jadi bagian dari raksasa alam semesta.

Namun di sisi lain kenyataan itu tampak aneh. Ada kesan kebaruan yang ganjil dan tak berkesudahan pasca melahirkan. Setengah percaya. Ia kini adalah seorang ibu. Seorang ibu?

Ia berjalan menyusuri pertokoan yang tutup. Ada bayangan dirinya terpantul di balik kaca yang membatasi antara dirinya yang samar dengan gaun-gaun, aksesoris, atau mainan anak-anak. Seakan semua yang ia lihat dan cermati adalah serpihan-serpihan dirinya yang memudar.

Gaun-gaun semacam itu pernah menjadi kado ulang tahun yang diberikan oleh Adrian ketika dirinya masih gadis. Adrian hadir membawa kepastian-kepastian yang dicari oleh Diana. Gelagatnya, sorot matanya. Mereka saling menemukan perasaan yang sama di dalam diri satu sama lain.

Kehangatan udara kota membuatnya merasa sedikit kantuk. Ia kembali ke rumah sakit. Adrian sudah berada di sana.

“Suasana kota pasti membahagiakanmu.” Kata Adrian. “Sudah ketemu apa yang kamu cari selama ini? Lihat, anak kita muntah darah saat kamu berjalan di depan pertokoan.”

Diana mengelus kepala anaknya yang tertidur. Napasnya pendek-pendek. Diana mengecup keningnya. Menepuk-nepuk lembut kaki anak itu, sementara Adrian terus berceramah. Sore menjadi sore yang panjang di ruangan itu. Sekalipun Diana berusaha memperpendeknya dengan terus mengatakan iya.

Dokter kembali berkunjung saat Adrian terus melontarkan ceramahnya. Ia lagi-lagi tidak mengatakan apa-apa selain anggukan kecil kepada perawat. Dokter itu tidak mengerti kenapa Diana tahan atas ocehan suaminya, saat Diana memiliki banyak kesempatan untuk menimpal.

Sesudah pemeriksaan, wajah dokter itu sedikit muram. Dokter mengajak Adrian keluar dan berbicara. Diana tidak mengetahui apa yang terjadi.

Satu hari, dua hari, kondisi anaknya menurun. Adrian tidak lagi mengucapkan apapun pada Diana setelah anak mereka meninggal.

***

Debu-debu di permukaan meja, kursi, buku-buku, walau semua tersusun rapi namun seperti tidak ada yang layak ditinggali. Diana mendekati jendela. Mengambil beberapa pasang mainan kecil untuk ditaruh, seakan harus disiram kembali oleh cahaya. Tapi pagi itu tidak ada matahari, atau mata yang cemerlang. Sementara sayup suara ambulans dari kota menyelinap masuk, memberi kegetiran yang tak selesai, kekecewaan yang tak sanggup dikuasai.

Adrian berdiri di belakangnya menggenggam tangan Diana.

“Aku minta maaf atas kelakuanku, minggu ini aku begitu kacau. Dan kita harus membicarakan sesuatu” kata Adrian.

“Aku hanya ingin melihat anakku.”

“Duduklah sebentar.”

Diana berbalik menghadap, lalu melipat tangan Adrian “Aku kembalikan padamu kehormatan yang masih ingin kamu genggam. Biarlah orang mengenal Adrian sebagaimana kukenal dulu.”

“Maksudmu apa Diana?”

Tanpa penjelasan, Diana menggelengkan kepalanya samar. “Tidak apa-apa, Adrian. Tidak apa-apa.”

Diana berusaha tidak mengingat bahwa Adrian memang tidak pernah memukul, menampar, mencederai tubuhnya. Ini adalah soal lain. Sentuhan, kehangatan, yang tidak bisa digambarkan secara fisik, yang sayangnya selalu ambigu dan absen disaat Diana butuh. Adrian bisa sehangat kuku, tuturnya selembut sutra. Tetapi ia dapat diam tanpa bahasa. Dingin seperti tidak ingin. Adrian dapat memberi tanpa diminta. Namun jarang, sesederhana menggendong anaknya. Menyambut disaat anaknya merengek nangis. Menimang. Melihat sorot matanya yang cemerlang.

Ingatan itu begitu nyata, senyata kini Diana menatap jendela, mainan, Adrian.. Ingatan yang bermuatan luka, ingatan paling pekat. Adrian hadir dalam kehidupan Diana seolah-olah dapat menjawab segala pertanyaan yang tiba secara spontan dan mendesak. Ia takut, ia marah, ia takut dan marah karena itu bertumpu pada dirinya yang tidak mau menanggung derita sendirian. Jika ia merasa menderita maka derita itu harus ia bagi juga pada Diana dan Diana yang harus membereskannya.

Mata Diana sudah tampak seperti mata panda. Wajahnya pucat pasi. Debu-debu di jendela, mainan, bunga-bunga mengering di halaman. Hidupnya terasa kering kerontang.

Tapi apakah itu – memilih Adrian – keputusan yang salah? Saat kelangsungan hidup berdiri di atas tonggak kemewahan, nominal uang, tembok-tembok, tanpa afeksi yang mengalir yang membuat dirinya dan anaknya merasa hidup?

Belum sempat ia menerjemahkan perasaannya yang ambigu setelah menjalani hidup sebagai istri dan kehadiran sosok anak, kini Diana harus menjerumuskan diri pada fase baru bernama kehilangan.

Tiba-tiba air mata membasahi pipi Diana. “Aku kira air mataku telah kering,” katanya sambil menertawakan dirinya sendiri.