"An endless bombardment of news and gossip and images has rendered us manic information addicts. It broke me. It might break you, too."
Itu adalah kalimat pembuka Andrew Sullivan dalam esainya yang berjudul I Used To Be A Human Being. Saya sudah cukup kewalahan untuk bermedia sosial akhir-akhir ini. Hal itu saya sampaikan kepada seorang teman untuk melanjutkan topik pembicaraan soal Ernest Prakasa yang cabut dari akun twitter-nya (kini berganti menjadi X).
“Tapi gimana twitter hari ini?”
“Gila sih Nu,” kata teman saya,
ia kemudian menidurkan posisi botol di atas meja kami dan bilang “perkara gini
aja pasti banyak yang komentar.” katanya sambil menunjuk botol.
Tapi twitwar itu sudah saya sadari menjelang tahun 2020. Pada masa pra pilpres tahun 2019, banyak orang tawuran kata-kata di sana;
penggiringan opini, tagar nyeleneh, akun-akun moralis yang kontradiktif dengan
isi likes-nya... Lalu saya tutup akun satu tahun kemudian.
Dan kini Akal Imitasi (AI) makin populer, terjun ke medan perang di media sosial sebagai karakter selanjutnya. Saya pernah menemukan video reels pada Instagram, menampilkan Albert Einstein berbicara di depan kamera, mengucapkan beberapa kata motivasi yang saya sendiri tidak tahu apakah kata-kata itu betul pernah ia ucapkan. Setelah menyaksikan reels tersebut saya diam sekitar satu menit membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi akibat hadirnya AI. Tak lama setelah itu saya scroll lagi bermain instagram. Siapa peduli?
Lagi pula, membuka instagram
memang seru – walaupun kurang penting. Kita bisa tahu aktivitas teman-teman kita,
seperti mereka sedang jajan apa, lari berapa kilometer, liburan ke mana, datang
ke acara pernikahan siapa. Konten-kontennya juga unik dan variatif, kayak tren No Face June yang membagikan momen
selama bulan juni tanpa foto muka sendiri. Orang di bulan juni tahun 2010 mana yang kepikiran konten media sosial akan begini coba?
Film Her (2013), yang diperankan oleh Joaqin Phoenix sebagai Theodore menjalin hubungan dengan Samantha yang tak lain adalah AI. Film ini menunjukkan bahwa hubungan tidak selalu harus berkaitan dengan adanya kehadiran fisik, ini tentang perasaan yang dipahami. Seorang penulis populer di Indonesia pernah bilang “carilah pasangan yang, saat kamu tidak meminta apa-apa, ia memberikan segalanya,” media sosial sudah cukup memenuhi hal itu, dan AI sedang tumbuh dewasa. Mudah-mudahan tidak terdengar berlebihan jika dikatakan bahwa manusia sudah cocok berpasangan dengan media sosial karena media sosial lebih mengerti manusia dibanding manusia itu sendiri. Algoritma membaca berapa lama kita terpaut oleh suatu konten, maka konten-konten sejenis akan muncul pada geseran selanjutnya. Ia akan selalu memancing rasa penasaran untuk terus dan terus, menuju Rabbit Hole.
Tristan Harris, mantan pendiri
perusahaan start-up dan insinyur
Google yang menyimpang dari jalur yang sudah mapan di dunia teknologi untuk
menjadi seorang whistleblower, mengatakan,
“benda ini (ponsel pintar)
semacam lotre, setiap kali memeriksa ponsel aku memainkan lotre untuk melihat
‘apa yang aku dapatkan’?”
Itulah alasan kenapa Feeds dan Reels tidak ada ujungnya, indikator notifikasi berwarna merah (simbol peringatan), supaya
kita menggunakan produk ‘mereka’ selama dan sesering mungkin. Ambil
unlocked, scroll-scroll, locked, taruh.
Ambil unlocked, scroll-scroll, haha-hihi,
locked, taruh. Ambil unlocked,
scroll-scroll, teharu, locked, taruh...
dan seterusnya dan seterusnya. Kita mungkin tidak sadar sampai screen time ponsel kita menunjukkan 1/3 kita terbangun tinggal di dunia
maya.
Saya cukup kewalahan dengan media
sosial kiwari, hingga harus menguraikan kembali pertanyaan di mana batas kegunaan media sosial? Jika saya mengatakan keprihatinan tentang media sosial,
maka orang-orang akan menjustifikasi bahwa media sosial ini sangat berguna:
buat membangun personal branding, berbisnis, dan sumber informasi dan fafifu. Kedengarannya memang masuk akal, sebab manfaat yang didapat tidak akan
ditemukan di tempat lain. Contohnya seperti orang bisa berjualan secara daring.
Klaim yang disampaikan demikian
itu memang benar. Namun jika dikatakan bahwa media sosial telah berkembang terlalu jauh, melampaui
peran minor di mana hal-hal tersebut menjadi alasan kita menggunakannya, juga
bukanlah pernyataan yang keliru.
Belakangan, Akal Imitasi memberikan
kecemasan baru di media sosial. Orang-orang bertanya sampai sejauh mana AI dapat
menggeser peran manusia di dalam dunia kreatif seperti menciptakan musik,
membuat desain, membuat karya sastra; atau dalam mempromosikan produk.
Beberapa bulan yang lalu saya berbelanja di salah satu pasar swalayan terdekat.
Di sana musik diputar, awalnya saya tidak ngeuh
kalau musik itu dibuat AI. Setelah didengar dengan seksama, dan lagu
selanjutnya menggunakan lirik yang sama dengan nada berbeda, saya mulai familiar
karena ada atasan saya yang sering bikin lagu menggunakan AI. Liriknya
sederhana, menggunakan nama daerah pasar swalayan itu berada dan beberapa kata
persuasif untuk belanja di sana. Lucunya adalah lagu yang dibawakannya bernada
sedih.
AI dalam cara kerjanya mengambil referensi dari data yang tersedia. Data ini dapat berupa teks, gambar, video, tergantung pada aplikasi AI yang digunakan. Kita mungkin bertanya itu wajah siapa dan tempatnya diambil dari mana. Alih-alih berbangga, kini saya memiliki sedikit ketakutan untuk mengunggah foto wajah sendiri. Sebab saya tidak tahu apakah AI bisa mencomotnya sehingga wajah saya bernasib serupa tampil di antara reels instagram? Kita menganggap foto hanyalah sekadar foto, tapi AI melihat itu sebagai data. Makin banyak data, semakin lihai AI menciptakan ‘produk’-nya.
AI mulai menyentuh realitas,
walaupun mungkin dengan sedikit lucu dan terbata-bata. Ia terbata-bata karena prompter yang dibuat oleh kita belum oke. Orang-orang yang suka membuat konten AI mungkin sedikit berbangga
karena mereka dapat berkreatifitas tanpa harus mengeluarkan banyak biaya,
tenaga, dan pikiran untuk melewati fase development da pra produksi. Dengan bermodalkan
kata-kata sebagai perintah, maka AI siap men-generate-nya jadi sesuatu yang kita inginkan di depan layar.
Barangkali pada akhirnya, kita
melihat diri dan sesama kita sebagai komoditas data. Saya tidak tahu apakah
kini dan kelak di saat makin pesatnya kemajuan teknologi informasi, kita masih bisa
menghargai apa yang dinamakan kemerdekaan, kreatifitas, cinta, humor,
toleransi... sebagai bagian dari hidup manusia yang utuh.
0 komentar:
Posting Komentar