Sabtu, 05 Juli 2025

Beli Buku

Bulan lalu, saya harus menambah daftar bacaan dengan membeli tiga buku baru. Beberapa menit setelah buku ketiga tiba di kamar indekos, barulah terpikirkan tentang pengeluaran yang melonjak pada bulan itu. Barulah teringat aksioma Thoreau, “biaya sesuatu adalah jumlah waktu dalam hidup yang bersedia kita tukarkan untuk mendapatkannya.” Yang dengan kata lain harga perolehan tiga buku itu sama dengan gaji selama dua hari. Dan itu bisa dipakai buat biaya hidup selama satu minggu sebagai anak indekos. Padahal, anggaran untuk pembelian buku perbulan hanyalah seharga satu buku saja.

Saya sebetulnya bisa tahan beli gadget terbaru, nge-thrift pakaian, atau berkunjung ke tempat kopi yang lagi tren. Tapi saya bisa jadi seorang konsumer yang impulsif soal membeli buku. Motifnya bisa macam-macam. Paling terakhir, didorong oleh rekomendasi konten kreator di instagram.

Bukan hal yang mengherankan bila konsumsi kita ditentukan oleh apa yang media sosial tawarkan. Tawaran itu berangkat dari yang lagi tren atau viral. Sama seperti pernah viralnya buku Filosofi Teras, Atomic Habits, dan sekelompok buku self help. Jika dalam musik misalnya, setelah saya sadari daftar putar saat bekerja To the Bone-nya Pamungkas sampai te-Mangu-nya Fourtwnty, juga terpengaruh oleh tren di media sosial – sedikit-sedikit jangan salahkan, sedikit-sedikit jangan salahkan..

Alih-alih jadi orang yang sanggup menikmati bacaan berjam-jam, saya masih membiarkan buku-buku baru itu tergeletak di atas rak. Ada buku yang masih terbungkus plastik, padahal saya sudah membelinya berbulan-bulan yang lalu. Tapi dalam hal ini, saya tidak mau banyak berkompromi. Sebab menyicil membeli satu buku perbulan diniatkan karena keinginan saya punya perpustakaan pribadi. Kalau rumah Roy Suryo dipenuhi oleh antena parabola, saya juga ingin dong punya rumah yang dipenuhi buku. Rumah mana coba yang punya banyak antena parabola? Cuma Roy Suryo.

Saya hanya agak terganggu oleh ketersediaan yang ditawarkan. Memang, saya lahir dan tumbuh di lingkungan yang tidak ada pelarangan dalam mengakses sebuah buku. Kondisinya tidak mencekam seperti masa pra-reformasi. Walaupun saya masih menemukan orang tua teman yang bilang, “jangan baca itu, dia itu komunis,” saat ia saya rekomendasikan sebuah buku berjudul Madilog. Kini hal itu bukan lagi soal yang gawat, namun di setiap toko buku, yang dipajang adalah itu lagi dan itu lagi. Tak ada pilihan lain ya?

Rasanya akses terhadap buku dimediasi oleh satu raksasa bernama kapitalisme. Toko buku terakhir yang saya kunjungi, menyediakan rak untuk buku self help lebih luas dibandingkan yang lain, dan mayoritas buku-bukunya datang dari Amerika. Ah ini terlalu Amerika, ah ini terlalu Korea, ini juga terlalu Jepang. Apa ini? Perang dagang? Saya bersolilokui. Padahal, masih ada tempat buku loakan seperti Palasari Bandung, yang masih menyediakan bermacam-macam buku sebagai opsi.

Buku self help memang laku. Tidak sedikit buku-buku semacam ini menyadur pemikiran yang datangnya dari para pemikir filsafat. Saya kurang setuju karena sampai pernah ada yang mempersamakan filsafat adalah self help itu sendiri.  Tentu ini pandangan yang keliru. Tapi fenomena larisnya buku-buku seperti ini tidak lepas dari masyarakatnya sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah bisa sepenuhnya mengabaikan pendapat orang lain terhadap dirinya. Kita selalu ingin divalidasi oleh judul-judul Berani Tidak Disukai, You Do You, Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, How to Win Friends and Influence People, dan How to lainnya.

Barangkali salah satu target pasar yang lagi oke adalah orang-orang yang nongkrong di tempat kopi yang namanya menggunakan kata-kata sendu, baca buku yang lagi self help hasil dari nonton podcast-podcast yang sok intelek, dan di situ diputar lagu yang juga tren. Di atasnya, pemilik modal cari investor baru buat buka cabang lain. Semuanya bisnis. Siapa yang tau? Siapa yang mau?

 

0 komentar:

Posting Komentar